Fakta kedua, secara kasat mata terdapat siklus berulang yang sudah tertanam didalam sebagian perasaan masyarakat terkait setiap pergantian pemimpin yakni, merasa kecewa kembali. Silih bergantinya sosok pemimpin baru, selalu membawa harapan baru dan kekecewaan baru dalam realitas selanjutnya setelah sang pemimpin terpilih.
Dua fakta di atas mengilhami penulis untuk mencoba menarik sebuah refleksi kecil terhadap pergantian dan sisi realitas panggung kekuasaan. Penulis berharap dugaan ini keliru, bahwa jangan-jangan selama ini yang kita pilih bukanlah sejatinya si “A”, tetapi persepsi kita tentang si “A”. Bukan benar-benar kita mengenal sosok “A” yang menggiring kita memilihnya, tapi si “A” lah yang menggering persepsi kita sesuai konstruksi yang dibutuhkan sebagai refrensi kita menentukan pilihan. Gamblangnya terdapat sejenis mobilisasi kesadaran terhadap masyarakat yang yang merupakan idealisasi sosok yang dibangun sendiri oleh kontestan pemilu tersebut. Si “A” sosok yang tegas, si “B” sosok yang santun dan sebagainya yang pada akhirnya adalah hasil kontruksi yang dibangun oleh para kontestan panggung politik.
Ibarat racikan bumbu, hal tersebut sesuai dengan kaldu rasa ayam, meminjam ungkapan Emha Ainun Najib. Bukan kenikmatan sesungguhnya ayam yang kita rasakan, melainkan sekedar rasanya saja. Seperti ungkapan, bukan si “A” selaku bupati, tapi si “A” rasa bupati yang berarti si A hanya lah sebuah simbol atau dalam bahasa “lucu” nya adalah si A adalah “boneka” yang tidak memiliki kemampuan bergerak sebagai Bupati.
Selaras dengan teori “Dramaturgi” yang dicetuskan Erving Goffman (Abd. Halim, 2014), ia menilai dunia tak ubahnya sebuah panggung daripada realitas yang selama ini dipahami. Apa yang diperankan atau ditampilkan seseorang di atas panggung oleh seorang aktor selalu syarat dengan motif tertentu. Lebih jauh dia menjelaskan, Teori Dramaturgi sangat terkait erat dengan modal, terutama modal yang bersifat simbolik. Perwujudan modal simbolik bisa dalam berbagai bentuk, misalnya, kemampuan orasi, meyakinkan pemilih atas gagasan-gagasannya, terutama teori panggung ini mensyaratkan politisi untuk sadar kamera sehingga mampu menyakinkan penonton bahwa didepan panggung adalah dirinya sedangkan dbelakang panggung menjadi orang yang memiliki peran berbeda.
Ulasan Dramaturgi lebih jauh lagi dapat dipahami sebagai “fatamorgana politik”, dimana kondisi politik ditekan pada derajat serendah-rendahnya dan secara keseluruhan terserap habis ke dalam percaturan mekanisme citra dan tanda-tanda (Abd. Halim, 2014). Panggung politik Dramaturgi tak ubahnya sandiawara dengan peran yang ada di depan panggung dan di belakang panggung yang memiliki peran yang berbeda
Ibarat sebuah panggung pemetasan, penonton hanya akan sekedar menilai kualitas politisi dalam memainkan peran semata, tidak pada proses-proses dan taktik dibelakang panggung. Realitas yang dikemukakan hanyalah sebatas teatrikal seperti sandiwara di atas panggung semata dalam batas-batas yang sah untuk dipertontonkan.
Hal di atas menegaskan akan terasa sangat sulit, atau mungkin mustahil, untuk bisa memecah kebuntuan-kebuntuan mengungkap peristiwa apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung-panggung drama politik. Semua politisi masing-masing berebut predikat protagonis dan mengantagoniskan lawannya di atas panggung politik untuk mendapat citra yang baik dari penonton dalam hal ini adalah masyarakat.
Perlu dicatat, tidak semua aksi panggung merupakan sandiwara semata. Sebagian lain mensinyalir bahwa sebuah pertunjukkan teater merupakan manifestasi dari realitas yang banyak tidak disadari penonton. Bahkan dengan tegas mengatakan, aksi drama ini bukanlah sebuah cerita fiksi, melainkan hidup kita lah yang fiksi, tidak nyata!
Gelagat di atas bisa dibaca melalui sebagian tokoh-tokoh politik mencoba mengungkapkan kebenaran terselubung yang jarang diketahui secara luas, atau bahkan sama sekali tidak diketahui oleh penonton. Sayangnya, meskipun seringkali seorang aktor politik berusaha tampil prima dengan menyuguhkan kebenaran tertentu tentang sebuah permasalahan, mampu kah adegan tersebut terlepas dari unsur-unsur motif-motif tertentu dalam kerangka pembacaan teori panggung?
Jika Sudirman Said melaporkan pelanggaran etis terkait kasus “mama minta pulsa” yang dilakukan Setyo Novanto, Ahok menggusur pemukiman Kalijodo, kegaduan kabinet kerja antara Rizal Ramli VS Sudirman Said terkait blok Masela, atau Marwan Jafar VS Pramono Anung terkait psywar pada kasus Garuda Indonesia lantaran keterlambatan Menteri Desa dalam penerbangan ke Yogyakarta, apakah mungkin keseluruhan drama politik yang bersitegang tersebut di dalam masing-masing aktor politik tidak memuat rekapitulasi imbas dari setiap tindakan politisnya?
Memang, sekilas suguhan yang dihidangkan dalam penampilan aktor politik tertentu nampak terkesan berani menelanjangi kebenaran, kekhawatiran terhadap berbubtutnya sebagian kebenaran tanpa memahami konteks motifnya lebih berbahaya dari seluruh kebohongan. Atau dengan ungkapan lain dapat dinyatakan sebagai, ucapan kebenaran yang ditujuhkan untuk keburukan. Hal ini akan mengantarkan kita pada kesimpulan awal bahwa, panggung politik tetap hanya sebagai wahana aktualisasi aktor politik untuk berakting.
Cepat nya arus informasi yang didukung dengan teknologi informasi saat ini serta keterbukaan media begitu kentara mewarnai perpolitikan tanah air, bisa disebut media merupakan fasilitas panggung yang tersedia secara luas, penonton atau publik akan serba kebingungan menilai beragam varian kebenaran yang disuguhkan para politisi. Semoga media tidak menambah beban tambahan dengan ikut serta sebagai aktor politik, tapi sekedar menyediakan panggung pentas bagi politisi. Di sisi lain, media membantu masyarakat dalam mencari kebenaran untuk menguak realitas sebenarnya di balik panggung politik yang tentunya berpihak kepada masyarakat yang lemah. (DJ)